Memahami agama
tidak hanya melalui akal saja, tetapi melalui perasaan/hati. pemahaman
keagamaan bahkan sampai kepada simbol-simbolnya lebih mengena jika mampu
memhami dengan rasa, bukan dengan akal bahkan ilmu pengetahuan saja.
kebebasan ber ekspresi dalam berbagai bentuknya, misal fesyen, model,
music dll. secara akal dan ilmu pengetahuan, seni adalah seni, tidak
bisa dibatasi dengan agama dan etika. Namun, jika kita sudah mampu
melihat segala sesuatu dengan rasa, maka kenyamanan, keamanan dan
ketenangan jiwa akan segera diperoleh dan didapatkan. Dan' rasa' sangat
erat kaitannya dengan hati, sedangkan ilmu lebih dekat dengan akal.
Begitulah orang mengatakan, orang pinter belum tentu bener, karena orang
pinter hanya menggunakan akal dan pengetahuannya saja, tanpa mampu
menggunakan rasa dalam kehidupannya.
Orang yang hidup kaya raya, secara keilmuan adalah sah dan mereka berhak untuk mengkayakan dirinya dan membahagiakan dirinya dan keluarga, dan tidak menjadi masalah ketika harta kekayaannya itu tidak dibagikan sebagian kepada tetangganya yang miskin, karena harta kekayaannya yang ia peroleh adalah hasil dari keringatnya sendiri. Secara pemahaman akal dan ilmu, sikap hal itu dibenarkan, TETAPI ..... secara rasa dan pemahaman hati nurani yang benar, sikap semacam itu salah besar, hidup makmur sendirian saja, tanpa mau berbagi dengan orang sekelilingnya yang sedang kesusahan.
misal lagi, Sholat hanya denga celana pendek, yang penting menutupi pusar sampai lutut, bagi orang laki-laki, hukumnya adalah sah dan dibenarkan sholatnya secara syara' dan menurut akal serta ilmu fiqh. TETAPI... secara rasa yang teraplikasi dalam bentuk etika ketasawufan, hal semacam itu, sholat dengan kondisi seperti itu, tidak dibenarkan bahkan secara rasa/etik, adalah tidak baik dan sebaiknya jangan dilakukan.
Kekurangan kita adalah bagaimana kita mampu 'merasakan' hidup keberagamaan kita ini, sehingga tidak selalu menggantungkan pada akal terus.
Ilmu tidak akan mampu mersakan keberadaan Tuhan kita, melainkan dengan rasa. Eksistensi Tuhan hanya dapat dipahami dengan perasaan dan kesadaran hati kita. Akal hanya kan menuntut bukti-bukti, dan' perasaan' tidak memerlukan bukti-bukti/dalil. Kita dapat 'merasakan' bahwa Tuhan kita yaitu Allah adalah dzat yang Maha Melihat, maha membalas setiap amal baik dan buruk kita. tapi akal kita tidak akan mampu memahami hal itu, karena akal akan menuntut pembuktian-pembuktian, sedangkan akal tidak akan mampu mewujudkan bukti-bukti itu.
Mari kita asah dan kita tajamkan perasaan kita, sehingga kita dapat memahami siapakah Allah secara benar. Dia yang melihat kita saat kita korupsi, Dia yang faham betul ketika kita melakukan kedustaan-kedustaan, Dia yang akan menghukum setiap kemaksiatan-kemaksiatan kita. Dia yang membuat kita pinter dan membuat kita bodoh, Dia yang akan menghancurkanmu kapan saja dan dimana saja. Dia yang akan memarahimu karena kamu meremehkanNya. Dia yang tidak bisa kamu tipu dan perdayai, Dia yang memiskinkan dan mengkayakanmu, Dia yang pasntas dimintai pertolongan. Dia yang pantas untuk menyombongkan diri. Dia yang membuat wajahmu cantik dan wajahmu buruk.Dia yang dapat mebuatmu jatuh terpuruk, hina lemah dan tidak berdaya. Dia Maha berkehendak semauNya. Dia Maha segalanya dengan sifat hebat dan muliaNya.
Orang yang hidup kaya raya, secara keilmuan adalah sah dan mereka berhak untuk mengkayakan dirinya dan membahagiakan dirinya dan keluarga, dan tidak menjadi masalah ketika harta kekayaannya itu tidak dibagikan sebagian kepada tetangganya yang miskin, karena harta kekayaannya yang ia peroleh adalah hasil dari keringatnya sendiri. Secara pemahaman akal dan ilmu, sikap hal itu dibenarkan, TETAPI ..... secara rasa dan pemahaman hati nurani yang benar, sikap semacam itu salah besar, hidup makmur sendirian saja, tanpa mau berbagi dengan orang sekelilingnya yang sedang kesusahan.
misal lagi, Sholat hanya denga celana pendek, yang penting menutupi pusar sampai lutut, bagi orang laki-laki, hukumnya adalah sah dan dibenarkan sholatnya secara syara' dan menurut akal serta ilmu fiqh. TETAPI... secara rasa yang teraplikasi dalam bentuk etika ketasawufan, hal semacam itu, sholat dengan kondisi seperti itu, tidak dibenarkan bahkan secara rasa/etik, adalah tidak baik dan sebaiknya jangan dilakukan.
Kekurangan kita adalah bagaimana kita mampu 'merasakan' hidup keberagamaan kita ini, sehingga tidak selalu menggantungkan pada akal terus.
Ilmu tidak akan mampu mersakan keberadaan Tuhan kita, melainkan dengan rasa. Eksistensi Tuhan hanya dapat dipahami dengan perasaan dan kesadaran hati kita. Akal hanya kan menuntut bukti-bukti, dan' perasaan' tidak memerlukan bukti-bukti/dalil. Kita dapat 'merasakan' bahwa Tuhan kita yaitu Allah adalah dzat yang Maha Melihat, maha membalas setiap amal baik dan buruk kita. tapi akal kita tidak akan mampu memahami hal itu, karena akal akan menuntut pembuktian-pembuktian, sedangkan akal tidak akan mampu mewujudkan bukti-bukti itu.
Mari kita asah dan kita tajamkan perasaan kita, sehingga kita dapat memahami siapakah Allah secara benar. Dia yang melihat kita saat kita korupsi, Dia yang faham betul ketika kita melakukan kedustaan-kedustaan, Dia yang akan menghukum setiap kemaksiatan-kemaksiatan kita. Dia yang membuat kita pinter dan membuat kita bodoh, Dia yang akan menghancurkanmu kapan saja dan dimana saja. Dia yang akan memarahimu karena kamu meremehkanNya. Dia yang tidak bisa kamu tipu dan perdayai, Dia yang memiskinkan dan mengkayakanmu, Dia yang pasntas dimintai pertolongan. Dia yang pantas untuk menyombongkan diri. Dia yang membuat wajahmu cantik dan wajahmu buruk.Dia yang dapat mebuatmu jatuh terpuruk, hina lemah dan tidak berdaya. Dia Maha berkehendak semauNya. Dia Maha segalanya dengan sifat hebat dan muliaNya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar